Reporter : Hendra Trisianto
PAITON – Petik laut atau Larung Sesaji merupakan salah satu kekayaan budaya nusantara yang juga dimiliki oleh daerah Kabupaten Probolinggo. Petik laut yang didalamnya berisi upacara adat atau ritual sebagai rasa syukur kepada Tuhan ini juga identik dengan tradisi selamatan desa pada desa yang notabene bermasyarakat nelayan.
Meskipun sekilas pelaksanaannya terlihat sama pada setiap desa pesisir, namun tradisi dan filosofi yang menyelimutinya ternyata memiliki kisah dan cerita yang beragam. Salah satunya adalah pada tradisi petik laut Desa Bhinor Kecamatan paiton yang rutin dilaksanakan setiap tanggal 14 pada bulan Suro (Muharram).
Tidak hanya meninggalkan sebuah tradisi luhur, nenek moyang masyarakat yang terletak di ujung timur wilayah Kabupaten Probolinggo ini ternyata juga telah mewarisi sebuah azimat berupa alam dan perairan yang lestari serta budaya maritim berwawasan lingkungan.
Hal ini diungkap oleh Zainal Abidin Fadila (39), Sekretaris Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Kranji Desa Bhinor Kecamatan Paiton. “Leluhur kami mengkeramatkan sebuah kawasan terumbu karang bernama Karang Kranji, hanya dua kilometer dari bibir pantai. Di lokasi itulah kami melaksanakan larung sesaji setiap tahun di acara petik laut,” kata Zainal memulai kisah riwayat petik laut desanya.
Zainal menuturkan secara turun-temurun masyarakat Desa Bhinor mempercayai bahwa kawasan gugusan terumbu karang seluas 2,5 hektar berbentuk bukit dengan puncak ketinggiannya yang kini telah mencapai 18,5 meter itu adalah kawasan keramat yang harus dijaga keberadaanya. Jika tidak maka hasil tangkapan ikan akan sepi, bahkan kosong sama sekali.
Seiring perkembangan zaman dan meningkatnya kualitas SDM masyarakat kemudian melahirkan paradigma baru dalam menyikapi sebuah adat istiadat serta memaknai hal yang tersirat dibalik sakralitas sebuah tradisi. Tanpa mengesampingkan kearifan lokal yang telah terbangun itu, masyarakat Desa Bhinor kini telah mampu memahami secara ilmiah akan esensi sebuah kekeramatan karang Kranji bagi keberlangsungan hidup mereka.
Adanya larangan menangkap ikan dengan menggunakan jaring perusak karang, ternyata terjawab dengan melimpahnya hasil tangkapan ikan walau dengan hanya menggunakan pancing dan wuwu perangkap ikan saja. Nelayan hanya cukup membuat rumpon-rumpon di sekitar Karang Kranji sebagai tempat mereka memancing dan memasang wuwu perangkap.
“Karang Kranji yang kramat itu ibarat bank ikan bagi kami, keberadaannya juga banyak diketahui para nelayan luar jadi tidak heran jika kawasan ini sering dijarah para nelayan yang tidak bertanggung jawab dengan seenaknya menggunakan jaring terlarang,” kenang bapak yang baru dikaruniai seorang putra ini.
Tidak hanya keberlimpahan hasil tangkapan ikan, berkah dari sebuah tradisi turun-temurun ini pun berkembang menjadi penunjang sektor wisata yang kini manfaatnya semakin luas dirasakan masyarakat Desa Bhinor. “Dari tradisi petik laut ini akhirnya kami belajar makna hidup yang sebenarnya dengan menyatukan diri bersama alam serta hidup berdampingan dalam harmoni kehidupan,” tandasnya.
Karang Pranji yang awalnya hanya terlindungi secara adat istiadat, kini dengan segala potensi dan manfaat nyata yang dihasilkan Pemerintah Desa Bhinor pun turut mengintervensi melindungi secara administratif dengan dikeluarkannya produk Peraturan Desa (Perdes) Nomor 23 tahun 2017 tentang perlindungan dan konservasi area terumbu karang dan Perdes Nomor 8 tahun 2017 tentang konservasi sumber daya alam. (dra)